Jumat, 30 September 2011

Cerpen dengan judul “SAHABAT”

            Putri Marsya Muthia Ananda, itulah nama lengkapku. Aku punya teman yang bernama Euis Rahmawati. Sudah lama aku tidak suka pada Euis. Tindak tanduknya membuat aku sebal. Baju yang lusuh, muka yang lesu, dan nilai-nilai yang jelek membuatnya jadi siswa yang tidak disukai di kelas.
            Lain hal dengan Ibu Tuti. Sebagai wali kelas menurutku dia terlalu perhatian pada Euis. Berlebihan sekali ! puncak kekesalanku terjadi hari itu. Bu Tuti dengan mudahnya meminta Dulfa, sahabat sekaligus teman sebangku aku selama beberapa bulan pindah tempat duduk menjadi sebangku dengan Euis. Menurut Bu Tuti, Dulfa pasti bisa membantu Euis mengejar ketinggalannya dalam beberapa pelajaran. Aku sangat kesal harus duduk sendiri.
“Dulfa, kenapa kamu mau sih sebangku sama Euis ? aku kan kesepian kalau harus duduk sendiri !”, agak kesal aku mencoba protes pada Dulfa.
“Putri, Bu Tuti benar. Kita harus membantu Euis. Kasian dia, karena selama ini tidak ada satu pun yang mau berteman dengannya. Aku yakin dia tidak akan seaneh itu kalau ada teman. Yuk Put, bantu aku jadi temannya juga !”, kata Dulfa.
Aku menghela nafas panjang sambil mengangguk pelan. Kalau bukan karena Dulfa, mana mungkin aku mau.
            Tiba saatnya ujian akhir praktik Bahasa Indonesia. Semua siswa kelas 12 harus mengarang sesuatu dalam bentuk tulisan dan mempresentasikannya di panggung sekolah. Aku membuat karangan bagus sekali, sementara Euis membuat sebuah puisi. Ketika tiba giliran Euis untuk tampil, Euis maju dengan langkah gemetar. Berhenti sebentar, menatap aku, lalu melangkahkan kakinya menuju panggung.
“Mengapa dia menatapku dahulu?”, pikirku tidak enak.
            Euis membawakan puisinya yang berjudul “SAHABAT”. Di akhir bait puisi tersebut tertulis :
Hancur hatiku ketika tahu kau tak peduli padaku.
Sahabat, ini aku ! sahabat, lihat aku !
            Aku sangat terharu melihat penampilan Euis. Euis membawakan puisinya dengan penuh perasaan. Aku tidak tahu puisi itu untuk siapa, tapi hatinya terasa sakit. Aku benci pada diriku sendiri.
            Ketika Euis turun, Aku lihat Dulfa menyambut hangat. Aku menghapmiri mereka dengan tekad baru dalam hati. Menjadi sahabat yang baik bagi Euis dan semua yang membutuhkannya. “Ini aku sahabatmu”, bisiku untuk Euis di dalam hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar